I
PENDAHULUAN
Manusia dalam
hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Sumber dari pengetahuan
tersebut ada dua macam yaitu naqli dan aqli. Sumber yang
bersifat naqli ini merupakan pilar dari sebagian besar ilmu
pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam agamanya secara khusus,
maupun masalah dunia pada umumnya. Dan sumber yang sangat otentik bagi umat
Islam dalam hal ini adalah Alquran dan Hadis Rasulullah SAW.
Allah telah
menganugerahkan kepada umat kita para pendahulu yang selalu menjaga Alquran dan
hadis Nabi SAW. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji.
Sebagian di antara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap Alquran dan ilmunya
yaitu para mufassir. Dan sebagian lagi memprioritaskan perhatiannya untuk
menjaga hadis Nabi dan ilmunya, mereka adalah para ahli hadis.
Salah satu
bentuk nyata para ahli hadis ialah dengan lahirnya istilah Ulumul
Hadis(Ilmu Hadis) yang merupakan salah satu bidang ilmu yang penting di
dalam Islam, terutama dalam mengenal dan memahami hadis-hadis Nabi SAW. Karena
hadis merupakan sumber ajaran dan hukum Islam kedua setelah dan berdampingan
dengan Alquran. Namun begitu perlu disadari bahwa hadis-hadis yang dapat
dijadikan pedoman dalam perumusan hukum dan pelaksanaan ibadah serta sebagai
sumber ajaran Islam.
Untuk itulah
umat Islam harus selalu waspada dalam menerima dan mengamalkan ajaran yang
bersumber dari sebuah hadis. Artinya, sebelum meyakini kebenaran sebuah hadis,
perlu dikaji dan diteliti keotentikannya sehingga tidak terjerumus kepada
kesia-siaan. Adapun salah satu cara untuk membedakan antara hadis yang diterima
dengan yang ditolak adalah dengan mempelajari dan memahami Ulumul Hadis yang
memuat segala permasalahan yang berkaitan dengan hadis.
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ILMU HADIST
Ilmu Hadis atau yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab
dengan Ulumul Hadisyang mengandung dua kata, yaitu ‘ulum’ dan
‘al-Hadis’. Kata ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm,
jadi berarti ilmu-ilmu, sedangkan al-Hadis dari segi bahasa
mengandung beberapa arti, diantaranya baru, sesuatu yang dibicarakan, sesuatu
yang sedikit dan banyak. Sedangkan menurut istilah Ulama Hadits adalah “apa
yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan,
sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya”. Sedangkan
menurut ahli ushul fiqh, hadis adalah: “perkataan, perbuatan, dan penetapan
yang disandarkan kepada Rasulullah SAW setelah kenabian.” Adapun sebelum
kenabian tidak dianggap sebagai hadis, karena yang dimaksud dengan hadis adalah
mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan
kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian. Adapun gabungan kata ulum
dan al-Hadis ini melahirkan istilah yang selanjutnya dijadikan
sebagai suatu disiplin ilmu, yaitu Ulumul Hadis yang memiliki
pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi SAW”.
Pada mulanya, ilmu hadis memang merupakan beberapa ilmu yang
masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadis Nabi SAW dan para
perawinya, sepertiIlmu al-Hadis al-Sahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma’ wa
al-Kuna, dan lain-lain. Penulisan ilmu-ilmu hadis secara parsial dilakukan,
khususnya, oleh para ulama abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya ibn Ma’in (234H/848M)
menulis Tarikh al-Rijal, Muhammad ibn Sa’ad (230H/844)
menulis Al—Tabaqat, Ahmad ibn Hanbal (241H/855M) menulis Al-‘Ilaldan Al-Nasikh
wal Mansukh, serta banyak lagi yang lainnya.
Hadits
dianggap sebagai nash syara’ karena Allah Swt berfirman:
Apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah.
(TQS. al-Hasyr [59]: 7)
Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (TQS. an-Najm[53]:3-4)
Banyak ayat-ayat yang datang secara umum lalu dirinci oleh
hadits. Seperti perkara shalat yang ayatnya datang secara umum, maka perbuatan
Nabi merupakan perbuatan yang dapat menjelaskan tentang waktu-waktu maupun tata
caranya. Begitu pula halnya dengan banyak hukum lain yang datang di dalam
al-Quran dalam bentuk global, kemudian Rasul saw datang menafsirkannya.
Allah
Swt berfirman:
Dan
Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka. (TQS. an-Nahl [16]: 44)
Para sahabat ra telah mendengar seluruh perkataan Rasulullah
saw dan telah melihat seluruh perbuatan dan keadaan beliau. Apabila mereka
sulit memahami ayat atau mereka berselisih dalam penaf-sirannya atau berbeda
pendapat tentang suatu hukum maka mereka kembali kepada hadits-hadits Nabi
untuk mencari penjelasannya.
Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut
dengan Ulumul Hadis, karena masing-masing membicarakan tentang Hadis dan para
perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai
digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya dipandang sebagai satu
disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan
menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadis,
sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jamak Ulumul Hadis
setelah keadaannya menjadi satu adalah mengandung makna mufrad atau tunggal,
yaitu Ilmu Hadis, karena telah terjadi perubahan makna lafaz
tersebut dari maknanya yang pertama (beberapa ilmu yang terpisah)
menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus yang nama lainnya adalahMusthalahul
Hadis.
B. PEMBAGIAN ILMU HADITS
Para Ulama Hadis telah membagi Ilmu Hadis kepada dua bagian,
yaitu Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah.
1) Ilmu Hadis Riwayah
Adapun yang dimaksud dengan Ilmu Hadis Riwayah,
sebagaiamana yang disebutkan oleh Zhafar Ahmad ibn Lathif al-Utsmani
al-Tahanawi di dalam Qawa’id fi Ulum al-Hadisseperti yang dikutip
oleh Nawir Yuslem dalam Ulumul Hadis adalah sebagai berikut:
Ilmu
Hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya
perkataan, perbuatan, dan keadaan Rasul SAW serta periwayatan, pencatatan, dan
penguraian lafaz-lafaznya.
Dari definisi tentang ilmu Hadis Riwayah di atas dapat
dipahami bahwa Ilmu Hadis Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata
cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi SAW.
- Tujuan dan Urgensi Ilmu Hadis Riwayah
Adapun
tujuan dan urgensi ilmu hadis riwayah ini adalah agar tidak lenyap dan sia-sia,
serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau
dalam penulisan dan pembukuannya. Dengan demikian, hadis-hadis Nabi SAW dapat
terpelihara kemurniannya dan dapat diamalkan hukum-hukum dan tuntunan yang
terkandung di dalamnya, hal ini sejalan dengan perintah Allah SAW agar
menjadikan Nabi SAW sebagai ikutan dan suri teladan dalam kehidupan ini (QS.
Al-Ahzab [33] : 21).
2) Ilmu Hadis Dirayah
Mengenai pengertian Ilmu Hadis Dirayah, para ulama hadis
memberikan definisi yang bervariasi, namun jika dicermati berbagai definisi
yang mereka kemukakan, maka akan ditemukan persamaan antara satu dengan
lainnya, terutama dari segi sasaran dan pokok bahasannya. Di sini akan penulis
kemukakan dua di antaranya:
Ibn al-Akfani memberikan definisi Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut:
“Dan
ilmu hadis yang khusus tentang dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk
mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat,
macam-macam, dan hukum-hukumnya,keadaan para perawi, syarat-syarat
mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya.”
Dari
definisi ini dapat dijelaskan beberapa hal, yaitu:
- Hakikat Riwayat, yaitu kegiatan periwayatan hadis dan penyandarannya kepada orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdis, yaitu perkataan seorang perawi, “haddasana fulan” (telah menceritakan kepada kami si Fulan), atau ikhbar, seperti perkataan: “akhbarana fulan” (telah mengabarkan kepada kami si Fulan).
- Syarat-Syarat Riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang diriwayatkannya dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-Hadis), seperti sama’ (perawi mendengar langsung bacaan hadis dari seorang guru), qira’ah (murid membacakan catatan hadis dari gurunya dihadapan guru tersebut), ijazah (member izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu hadis dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya),munawalah (menyerahkan suatu hadis yang tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan), kitabah (menuliskan hadis untuk seseorang), I’lam (member tahu seseorang bahwah hadis-hadis tertentu adalah koleksinya), washiyyat(mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadis yang dimilikinya), dan wajadah(mendapatkan koleksi tertentu tentang hadis dari seorang guru.
- Macam-macam Riwayat, yaitu seperti periwayatan muttsahil (periwayatan yang bersambung mulai dari perawi pertama sampai kepada perawi terakhir,ataumunqathi’ (periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah, atau di akhir, dan lainnya.
- Hukum Riwayat, yakni al-qabul (diterimannya suatu riwayat karena telah memenuhi persyaratan tertentu, dan al-radd (ditolak, karena adanya persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi.
- Keadaan para Perawi, maksudnya adalah keadaan mereka dari segi keadilan mereka (al-‘adalah) dan ketidakadilan mereka (al-jarh).
- Syarat-syarat Mereka, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi ketika menerima riwayat (syarat-syarat pada tahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat (syarat pada al-add’).
- Jenis yang diriwayatkan (ashnaf al-marwiyyat), adalah penulisan hadis di dalam kitab al-musnad, al-mu’jam, atau al-ajza’ dan lainnya dari jenis-jenis kitab yang menghimpun hadis-hadis Nabi SAW.
Definisi
ini dapat kita jelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
- Al-Rawi atau perawi adalah orang yang meriwayatkan atau menyampaikan hadis dari satu orang ke orang yang lain.
- Al-Marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW atau kepada yang lainnya, seperti Sahabat atauTabi’in.
- Keadaan Perawi dari segi diterima atau ditolaknya, adalah mengetahui keadaan para perawi dari segi jarh dan ta’dil ketika tahammul dan adda’ al-hadis, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam kaitannya dengan periwayatan hadis.
- Keadaan Marwi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ittishal al-sanad (persambungan sanad) atau terputusnya, adanya ‘illat atau tidak, yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadis.
- Tujuan dan Urgensi Ilmu Hadis Diwayah
Tujuan
dan urgensi ilmu hadis dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan
hadis-hadis yang Maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau
untuk diamalkan) dan yang Mardud (yang ditolak).
Ilmu
hadis dirayah inilah yang pada masa selanjutnya secara umum dikenal
dengan Ulumul Hadis, Musthalahul Hadis, atau Ushul
al-Hadis. Keseluruhan nama-nama di atas meskipun bervariasi, namun
mempunyai arti dan tujuan yang sama, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah
untuk mengetahui keadaanperawi (sanad) dan marwi (matan)
suatu hadis, dari segi diterima dan ditolaknya.
Para
Ulama hadis membagi Ilmu Hadis Dirayah atau Ulumul Hadis ini kepada beberapa
macam, berdasarkan kepada permasalahan yang dibahas padanya, seperti:
- pembahasan tentang pembagian Hadis Shahih, Hasan dan Dha’if, serta macam-macamnya,;
- pembahasan tentang tata cara penerimaan (tahammul), dan periwayatan (adda’) hadis;
- pembahasan al-jarh dan al-ta’dil serta tingkatan-tingkatannya,
- pembahasan tentang perawi, latar belakang kehidupannya, dan pengklasifikasiannya antara yang tsiqat dan yang dha’if;
- dan lain-lain.
C. PENGHAPALAN HADIST
Para sahabat dalam menerima hadis dari Nabi SAW. berpegang
pada kekuatan hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan
jalan menulis hadis dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis
melalui mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi. Kemudian
terekamlah lafal dan makna itu dalam sanubari mereka.
Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan. atau
mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari nabi, karena tidak
semua dari mereka pada setiap waktu dapat mengikuti atau menghadiri majelis
Nabi. Kemudian para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya
dan berupaya mengingat apa yang pernah Nabi lakukan, untuk selanjutnya
disampaikan kepada orang lain secara hapalan pula.
Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadis yang
didengarnya dari Nabi SAW. Di antara sahabat yang paling banyak
menghapal/meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan Ibnu Jauzi
bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah
hadis.
Kemudian
para sahabat yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah ialah:
- Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadis.
- Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadis.
- Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadis.
- Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadis.
- Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis.
- Abu Said AI-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadis.
D. PENGHIMPUNAN HADIST
Pada abad pertama hijrah, yakni masa Rasulullah SAW., masa
khulafaur Rasyidin dan sebagian besar masa bani umayyah, hingga akhir abad
pertama hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut
Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan
hapalannya.
Memang hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu
mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide
penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh
khalifah Umar bin Khattab (w. 23/H/644 M). Namun ide tersebut tidak
dilaksanakan oleh Umar karena beliau khawatir bila umat Islam terganggu
perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang
dinobatkan akhir abad pertama hijrah, yakni tahun 99 hijrah datanglah angin
segar yang mendukung kelestarian hadis. Umar bin Abdul Azis seorang khalifah
dari Bani Umayyah terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai
khalifah Rasyidin yang kelima.
Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang
mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal
dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam
buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap
bersama lenyapnya para penghapalnya.
Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan
hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H.
Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar
bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat
pada para penghafal.
Umar
bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berbunyi:
“Perhatikanlah
apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan
lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis
Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu
supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya
ilmu itu dirahasiakan. ”
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat
kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara
khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin
Syihab Az-Zuhri. Kemudian Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perinea khalifah
tersebut. Dan Az-Zuhri itulah yang merupakan salah satu ulama yang pertama kali
membukukan hadis.
Dari Syihab Az-Zuhri ini (15-124 H) kemudian dikembangkan
oleh ulama-ulama berikutnya, yang di samping pembukuan hadis sekaligus
dilakukan usaha menyeleksi hadis-hadis yang maqbul dan mardud dengan
menggunakan metode sanad dan isnad.
Metode sanad dan isnad ialah metode yang digunakan untuk
menguji sumber-sumber pembawa berita hadis (perawi) dengan mengetahui keadaan
para perawi, riwayat hidupnya, kapan dan di mana ia hidup, kawan semasa,
bagaimana daya tangkap dan ingatannya dan sebagainya. Ilmu tersebut dibahas
dalam ilmu yang dinamakan ilmu hadis Dirayah, yang kemudian terkenal dengan
ilmu Mustalahul hadis.
Setelah generasi Az-Zuhri, kemudian pembukuan hadis
dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H), Ar-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H) dan
masih banyak lagi ulama-ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa
pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi
belum begitu sempuma.
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada
pertengahan abad II H. dilakukan upaya penyempunaan. Mulai. waktu itu kelihatan
gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan
penulisan hadis-hadis Rasul SAW.
Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga
sekarang sampai kepada kita, antara lain AI-Muwatha ‘ oleh imam Malik, AI
Musnad oleh Imam Asy-Syafi’l (204) H. Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan
secara lebih teliti oleh Imam-lmam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim,
Turmuzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan lain-lain
Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab)
enam yaitu: Sahih AI-Bukhari Sahih Muslim, Sunan An-Nasai dan At-Turmuzi. Tidak
sedikit pada “masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar
kepada Kutubus sittah tersebut beserta kitab Muwatta dengan cara mensyarahinya
dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanad dan matan-matannya.
E. ULAMA-ULAMA ILMU HADIST
Imam Bukhârî
Nama lengkap beliau ialah Abu Abdullâh Muhamad bin Isma’îl
bin Ibrâhîm bin Mughîrah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhârî. Beliau dilahirkan
pada hari jum’at, 13 syawal 194 H./1810 M. di Bukhârâ. Ayahnya Isma’îl bin
Ibrâhîm al-Ju’fî tampaknya cenderung kepada hadits nabawi. Ketika pergi haji
pada tahun 179 H. beliau menyempatkan diri menemui tokoh-tokoh ahli hadits
seperti Imam Malik bin Anas, Abdullâh bin Mubârak, Abu Muawiyyah bin Shâleh dan
yang lainnya.
Ternyata semangat dan kecendrungan ini diwariskan kepada
putranya Muhamad. Ketika Muhamad masih kecil, ayahnya Isma’îl meninggal dunia,
dan meninggalkan perpustakaan pribadi yang diperuntukkan khusus buat putranya
tercinta Isma’îl. Dalam keadaan yatim ia diasuh oleh ibunya dengan penuh kasih
sayang, dibimbingnya untuk selalu mencintai buku-buku peninggalan ayahnya.
Bersama teman-teman sebayanya Muhamad mulai belajar membaca, menulis, belajar
al-Qur’an dan hadits.
Ketabahan ibu yang shalehah ini akhirnya mulai membuahkan
hasil, ketika pada umur 10 tahun Muhamad muncul sebagai anak yang berilian
otaknya mengalahkan anak-anak sebayanya, dan pada umur 10 tahun itulah Muhamad
mulai mempelajari dan menghapal hadits. Ketika berumur 11 tahun perpustakaan
ayahnya sudah tidak memenuhi syarat lagi baginya. Cita-cita untuk mendalami
hadits semakin menggebu-gebu. Akhirnya Muhamad kecil menemui tokoh-tokoh ahli
hadits di tanah airnya untuk mempelajari hadits.
Melihat kehebatan Muhamad ini, para gurunya juga tidak urung
menemuinya. Betapa tidak, pada waktu berumur 16 tahun Muhamad sudah hapal
kitab-kitab hadits yang ditulis oleh abdullâh bin Mubârak dan Waki’, dua tokoh
ahli hadits yang terkemuka pada masa itu.
III
KESIMPULAN
Ilmu Hadis atau yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab
dengan Ulumul Hadisyang mengandung dua kata, yaitu ‘ulum’ dan
‘al-Hadis’. Kata ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm,
jadi berarti ilmu-ilmu, sedangkan al-Hadis dari segi bahasa
mengandung beberapa arti, diantaranya baru, sesuatu yang dibicarakan, sesuatu
yang sedikit dan banyak. Sedangkan menurut istilah Ulama Hadits adalah “apa
yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan,
sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya”. Sedangkan
menurut ahli ushul fiqh, hadis adalah: “perkataan, perbuatan, dan penetapan
yang disandarkan kepada Rasulullah SAW setelah kenabian.” Adapun sebelum
kenabian tidak dianggap sebagai hadis, karena yang dimaksud dengan hadis adalah
mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya.
Para Ulama Hadis telah membagi Ilmu Hadis kepada dua bagian,
yaitu Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah.
1) Ilmu Hadis Riwayah
Ilmu
Hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan,
perbuatan, dan keadaan Rasul SAW serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian
lafaz-lafaznya.
2) Ilmu Hadis Dirayah
“Dan
ilmu hadis yang khusus tentang dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk
mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat,
macam-macam, dan hukum-hukumnya,keadaan para perawi, syarat-syarat
mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya.”
DAFTAR PUSTAKA
T.
Muhammad As Siddiqy, “sejarah dan pengantar ilmu hadist”
Penerbit Bulan Bintang, Jakarta.
Dr.
Mustafa Assiba’i, “Al Hadist sebagai sumber hukum(kedudukan As Sunnah dalam pembinaan
hukum Islam)”, penerbit cv.Diponegoro Bandung.
Muhammad
ajar al khatib,”ushul al Hadist, ulumul wal mustalah” penerbit Daral Fikri,
Beirut.
An Nabhani
Taqiyyuddin, “Asy Syakhshiyah Islamiyah” Jilid I/253, Beirut 1953 penerbit
PTI (Pustaka Thoriqul Izzah).
Mantabs gan, saya baru belajar islam
BalasHapus