A. IJTIHAD
1. Pengertian
Ijtihad dari segi bahasa berasal
dari kata ijtihada, yang berarti bersungguh-sungguh, rajin, giat atau
mencurahkan segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad
ialah berusaha untuk berupaya atau berusaha yang bersungguh-sungguh.
Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili,
ijtihad adalah perbuatan istimbath hukum syari`at dari segi
dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syari`at.
Imam al Ghazali, mendefinisikan
ijtihad dengan ”usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui
hukum-hukum syari`at”. Sedangkan menurut Imam Syafi`i, arti sempit
ijtihad adalah qiyas.
2. Mujtahid dan Syarat-Syaratnya
Mujtahid ialah orang yang
berijtihad. Membicarakan syarat-syarat mujtahid berarti juga membicarakan
syarat-syarat ijtihad.
Imam al Ghazali menyatakan mujtahid
mempunyai dua syarat :
Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu
melihat yang zhanni di dalam hal-hal yang syara dan mendahulukan yang
wajib.
Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari
sifat dan sikap keadilan (`adalah).
Menurut Asy
Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila mempunyai dua sifat
:
Mengerti dan paham akan tujuan syari`at
dengan sepenuhnya, sempurna dan menyeluruh.
Mampu melakukan istimbath berdasarkan
faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan syari`at tersebut.
Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili
mujtahid mempunyai dua syarat, yaitu :
Mengetahui apa yang ada pada Tuhan,
mengetahui/percaya adanya Rasul dan apa yang dibawanya, juga mukjizat-mukjizat
ayat-ayat-Nya.
Hendaknya seorang yang pandai (`alim)
dan bijaksana (arif) tentang keseluruhan hukum-hukum syari`at dan
pembagian-pembagiannya, jalan-jalan menetapkannya, segi-segi dalil atas yang
didalilinya, perbedaan-perbedaan tingkatnya, syarat-syarat yang tepat untuk itu
dan tahu arah pentarjihannya ketika terdapat kontradiksi di dalamnya dan tahu
pula cara menghasilkan daripadanya, mampu pula membebaskan maupun menetapkan
dan tahu pula memisahkan keberatan-keberatan yang terdapat di dalamnya. Hafal
al Qur`an dan Sunnah yang diperlukan.
Mengetahui nasih dan mansuh,
baik yang terdapat dalam al Qur`an maupun Sunnah, agar tidak keliru berpegang
kepada yang mansuh yang sudah ditinggalkan padahal ada nasihnya,
sehingga menyebabkan ijtihadnya batal.
Mengetahui masalah-masalah ijma` dan
kedudukan-kedudukannya, sehingga fatwanya tidak bertentangan dengan ijma`
itu.
Mengetahui segi-segi dan syarat qiyas yang mutabaroh
dan `illat hukum serta jalan istimbath qiyas terhadap nash-nash,
kemaslahatan-kemaslahatan manusia, dan pokok-pokok syari`at yang umum,
menyeluruh, sebab qiyas itu kaidah ijtihad dan di dalamnya banyak terdiri dari
hukum-hukum tafsili (terperinci).
Mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab, nahwu,
shorof, ma`ani, bayan, dan uslub-uslub.
Alim dalam ilmu ushul fiqh.
Memahami tujuan-tujuan syari`at yang
umum dalam meletakkan hukum-hukum, sebab memahami nash-nash dan menerapkannya
kepada peristiwa-peristiwa tertentu tergantung kepada pemahaman terhadap
tujuan-tujuan ini.
3. Tingkatan
Mujtahidin
1. Mujtahid
mutlaq, yaitu seorang mujtahid yang mampu memberikan fatwa dan pendapatnya
dengan tidak terikat kepada madzhab apapun. Contohnya Maliki, Hambali, Syafi`i,
Hanafi, Ibnu Hazhim dan lain-lain.
2. Mujtahid
muntasib, yaitu orang yang mempunyai syarat-syarat untuk berijtihad, tetapi
ia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh
oleh imam madzhab tersebut.
4. Macam-Macam Ijtihad
Dr. ad Dualibi, sebagaimana
dikatakan Dr. Wahbah (h. 594), membagi ijtihad kepada tiga macam :
Al Ijtihadul Bayani, yaitu
menjelaskan (bayan) hukum-hukum syari`ah dari nash-nash syar`i.
Al Ijtihadul Qiyasi, yaitu meletakkan
(wadl`an) hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang
tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas
apa yang terdapat dalam nash-nash hukum syar`i.
Al Ijtihadul Isthishlahi, yaitu
meletakkan hukum-hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang terjadi
yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah menggunakan ar ra`yu yang
disandarkan atas isthishlah.
Sedangkan menurut ustadz Hakim
membagi ijtihad menjadi dua, yaitu `aqli dan syar`i. Ijtihad
`aqli ialah apabila hujjahnya hanya akal saja dan tidak menerima untuk
dijadikan sebagai syar`i yaitu hal-hal yang semata-mata `aqli
aturan-aturan yang biasanya untuk menolak kemudlaratan dan lain-lain. Sedangkan
yang syar`i ialah yang memerlukan kehujjahan yaitu sebagian dari
hujjah-hujjah syar`i di dalam kelompok ini termasuk ijma`, qiyas,
istihsan, ishtishlah, `urf, istishab dan lain-lain.
B. TAQLID
1. Pengertian
Kata taqlid,
fi`ilnya adalah qallada, yuqallida, taqliidan, artinya
mengalungi,meniru, mengikuti. Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid
“penerimaan perkataan seseorang sedangkan engkau tidak mengetahui dari mana
asal kata itu”.
Menurut Muhammad
Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain yang dianggap
terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam
tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau
mudlarat hukum itu.
2. Hukum Taqlid
Taqlid yang haram
Ulama sepakat haram melakukan taqlid
ini. Taqlid ini ada tiga macam :
a. Taqlid
semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang
dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.
b. Taqlid
kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya,
seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan,
keahlian, atau kekuatan berhala tersebut.
c. Taqlid
kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui
bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
Taqlid yang dibolehkan
Dibolehkan bertaqlid kepada seorang
mujtahid atau beberapa orang mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum
Allah dan RasulNya yang berhubungan dengan persoalan atau peristiwa, dengan
syarat yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah
yang diikuti itu. Jadi sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian
mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk
pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.
Ulama muta akhirin dalam kaitan
bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:
a. Golongan awan
atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari
keempat madzhab.
b. Golongan yang
memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada
ulama-ulama.
Golongan awam harus mengikuti
pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar pendapat itu (taqlid
dalam pengertian bahasa).
3. Taqlid yang diwajibkan
Wajib bertaqlid kepada orang yang
perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan
perbuatan Rasulullah SAW.
3. Taqlid yang Berkembang
Taqlid yang berkembang
sekarang, khususnya di Indonesia
ialah taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid
yang terkenal ( Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).
Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) :
“segala perkataan atau pendapat dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang
sebagai madzhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau
perkataan dari orang yang mengatakan perkataan itu”.
Taqlid kepada yang mengaku
bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya
sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak
dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.
4. Pendapat
Imam Madzhab tentang Taqlid
a. Imam Abu
Hanifah (80-150 H)
Beliau merupakan
cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang
itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
b. Imam Malik
bin Anas (93-179 H)
Beliau
melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang
terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap perkataan atau pendapat yang sampai
kepada kita harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.
c. Imam asy
Syafi`i (150-204 H)
Beliau murid
Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan meninggalkan pendapatnya pada
setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi
SAW.
d. Imam
Hambali (164-241 H)
Beliau
melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti semua
yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang yang berasal dari
tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang
benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.
C. ITTIBA`
1. Pengertian
Kata “ittiba`” berasal dari
bahasa Arab ittaba`a, yattabi`u, ittibaa`an, muttabi`un yang
berarti “menurut” atau “mengikut”.
Menurut ulama ushul, ittiba`
adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan
dibenarkan Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran
agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW.
Definisi lainnya, ittiba`
ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari
mana atau asal pendapat itu. Ittiba` ditetapkan berdasarkan hujjah
atau nash. Ittiba` adalah lawan taqlid.
2. Macam-Macam Ittiba`
a. Ittiba`
kepada Allah dan Rasul-Nya
Ulama sepakat
bahwa semua kaum muslim wajib mengikuti semua perintah Allah Swt dan Rasul-Nya
dan menjauhi laranganNya.
b. Ittiba`
kepada selain Allah dan Rasul-Nya
Ulama berbeda
pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin
Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah,
Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain.
Pendapat yang
lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai
ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).
3. Tujuan
Ittiba`
Dengan adanya ittiba`
diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat
mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa
diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan
penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan
kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.
D. TALFIQ
1. Pengertian
Talfiq berarti “manyamakan”
atau “merapatkan dua tepi yang berbeda”.
Menurut istilah, talfiq
ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan
mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali dan saksi
adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah
tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq
dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk
melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari
pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya.
Ada talfiq yang tujuannya untuk
mencari yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah
dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang
dicela para ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.
2. Pendapat-Pendapat tentang
Talfiq
Pendapat pertama, orang awam harus
mengikuti madzhab tertentu, tidak boleh memilih suatu pendapat yang ringan
karena tidak mempunyai kemampuan untuk memilih. Karena itu mereka belum boleh
melakukan talfiq.
Pendapat kedua, membolehkan talfiq
dengan syarat tidak akan menimbulkan pendapat yang bertentangan dengan salah
satu madzhab yang ditalfiqan itu.
Pendapat ketiga, membolehkan talfiq
tanpa syarat dengan maksud mencari yang ringan-ringan sesuai dengan
kehendak dirinya.
Izin copy untuk tugas boleh gak? Nanti ditulis sumbernya juga kok. ;)
BalasHapus