1. SISTEM
PERADILAN ISLAM I
a. Fakta Tentang Sistem
Peradilan
Dalam peradilan
Hukum Islam, hanya ada satu hakim yangbertanggung jawab terhadap berbagai kasus
pengadilan. Dia memiliki otoritas untuk menjatuhkan keputusan berdasarkan
Al-Qur`an dan As-Sunnah. Keputusan-keputusan lain mungkin hanya bersifat
menyarankan atau membantu jika diperlukan (yang dilakukan oleh hakim ketua).
Tidak ada
sistem dewan juri dalam Islam. Nasib seorang tidak diserahkan kepada tindakan
dan prasangka ke-12 orang yang bisa saja keliru karena bukan saksi dalam kasus
tersebut dan bahkan mungkin pelaku kriminal itu sendiri!.Hukumanhukuman dalam
Islam hanya bisa dilakukan apabila perbuatantersebut terbukti 100% secara pasti
dan kondisi yang relevan dapatditemukan (misal ada 4 saksi untuk membuktikan
perzinahan) jika masih adakeraguan tentang peristiwa-peristiwa tersebut maka
seluruh kasus akan
dibuang.[1]
dibuang.[1]
Ada 3 macam hakim dalam Islam, yaitu:
1.
Qodli ‘Aam: bertanggung jawab untuk menyelesaikan
perselisihan ditengah-tengah masyarakat, misalnya masalah sehari-hari yang
terjadi didarat, tabrakan mobil, kecelakaan-kecelakaan, dsb.
2.
Qodli Muhtasib: bertanggung jawab menyelesaikan
perselisihan yang timbul diantara ummat dan beberapa orang, yang menggangu
masyarakat luas, misalnya berteriak dijalanan, mencuri di pasar, dsb.
3.
Qodli Madzaalim: yang mengurusi permasalahan antara
masyarakat dengan pejabat negara. Dia dapat memecat para penguasa atau pegawai
pemerintah termasuk khalifah.
Khalifah kedua
yaitu Umar Ibnu Al Khattab (Amir kaum muslimin antara tahun 634-644 M) adalah
orang pertama yang membuat penjara dan rumah tahanan di Mekkah. Dibawah sistem
peradilan (Islam), setiap orang, muslim atau non muslim, laki-laki atau
perempuan, terdakwa dan orang yang dituduh memiliki hak menunjuk seorang wakil
(proxy). Tidak ada perbedaan antara pengadilan perdata dengan kriminal seperti
yang kita lihat sekarang di negeri-negeri Islam seperti di Pakistan dimana sebagian hokum
Islam dan sebagian hokum kufur keduanya diterapkan. Negara Islam hanya akan
menggunakan sumber-sumber hukum Islam yakni, Al-Qur`an dan As-Sunnah (dan
segala sesuatu yang berasal dari keduanya) sebagai rujukannya. Hukuman-hukuman
Islami akan dilaksanakan tanpa penundaan dan keraguan.[2]
Tidak
seorangpun akan di hukum kecuali oleh peraturan pengadilan. Selain itu, sarana
(alat-alat) penyiksaan tidak diperbolehkan.Dibawah sistem Islam, seseorang yang
dirugikan dalam suatu kejahatan mempunyai hak untuk memaafkan terdakwa atau
menuntut ganti rugi (misal qishas) untuk suatu tindak kejahatan. Khusus untuk
hukum hudud, merupakan hak Allah.Hukum potong tangan dalam Islam hanya akan
diterapkan
apabila memenuhi 7 persyaratan,
yaitu:
1.
Ada
saksi (yang tidak kontradiksi atau salah dalam kesaksiannya)
2.
Nilai barang yang dicuri harus mencapai 0,25 dinar atau
senilai 4,25 gr emas.
3.
Bukan berupa makanan (jika pencuri itu lapar)
4.
Barang yang dicuri tidak berasal dari keluarga pencuri
tersebut.
5.
Barangnya halal secara alami (misal: bukan alkohol)
6.
Dipastikan dicuri dari tempat yang aman (terkunci)
7.
Tidak diragukan dari segi barangnya (artinya pencuri
tersebut tidak berhak mengambil misalnya uang dari harta milik umum).
Di sepanjang
1300 tahun aturan Islam diterapkan, hanya ada sekitar 200 orang yang tangannya
dipotong karena mencuri namun kejadin-kejadian pencurian sangat jarang terjadi.
Setiap orang berhak menempatkan pemimpinnya di pengadilan, berbicara
mengkritiknya jika pengadilan telah melakukan sejumlah pelanggaran terhadapnya.
Sebagaimana ketika seorang wanita pada masa khalifah Umar Ibnu Al Khattab
mengoreksi kesalahan yang dilakukan Umar tentang nilai
mahar .
mahar .
Kehormatan
seorang warga negara dipercayakan kepada Majlis Ummah. Hukuman atas tuduhan
kepada muslim lain yang belum tentu berdosa dengan tanpa menghadirkan 4 orang
saksi yang memperkuat pernyataan tersebut adalah berupa 80 kali cambukan.
Ada 4 kategori hukuman dalam sistem peradilan
Islam, yaitu:
1.
Hudud. Hak Allah SWT, seperti perbuatan zina (100
cambukan), murtad (hukuman mati).
2.
Al Jinayat. Hak individu, dia boleh memaafkan tindak
kejahatan seperti pembunuhan, kejahatan fisik.
3.
At Ta’zir. Hak masyarakat, perkara-perkara yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat umum sehari-hari seperti pengotoran
lingkungan, mencuri di pasar.
4.
Al-Mukhalafat. Hak negara, perkara-perkara yang
mempengaruhi kelancaran tugas negara misal melanggar batas kecepatan.
2. SISTEM PERADILAN DALAM
ISLAM II
Manusia
terbatas pengetahuannya dan bisa berbuat keliru. Mereka cenderung salah dan
penuh prasangka. Islam tidak menyerahkan penentuan undang-undang keadilan
kepada kehendak dan selera manusia sebagaimana yang terjadi di Barat. Akan
tetapi, yang berwenang membuat hukum hanyalah Allah SWT, Pencipta manusia dan
Yang Maha Mengetahui tentang diri manusia. Siapakah yang lebih berhak melakukan
hal ini? Allah SWT berfirman: “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. 6
: 57).
Sesungguhnya
menetapkan hukum adalah hak Allah. Maka anda tinggal meyakini bahwa dalam
pengadilan Islam, faktor-faktor seperti hakim berteman dengan terdakwa atau,
mengalami hari-hari yang tidak menyenangkan, tidak ada hubungannya dengan
kerasnya hukuman yang akan dilaksanakan. Bila anda korban kejahatan dan anda
miskin sedangkan lawan anda kaya, tidak akan berpengaruh apapun terhadap
keputusan pengadilan. Bila anda diijinkan untuk menunjuk seorang wakil yang
akan berbicara atas nama anda, tidak perlu ada sejumlah uang yang
dipertaruhkan. Tujuan pengadilan semata-mata untuk menegakkan keadilan, bukan
menghasilkan uang. Karena itu tidak perduli siapa yang mengusut kasus anda,
atau betapapun pandainya dia bicara, semua diserahkan kepada hakim untuk
memastikan fakta-fakta dan mengevaluasinya.
Dalam Islam,
bukti kesalahan tertentu sudah cukup untuk menjatuhkan vonis. Karena itu, tidak
ada konsep juri, yang anggota-anggotanya mungkin tidak sepakat terhadap suatu
keputusan, dengan semata-mata mendasarkan kepada kebijakan meraka pribadi.
Bukti-bukti tidak langsung yang tidak meyakinkan dan mengarah kepada penafsiran
yang berbeda-beda tidaklah cukup. Seluruh bukti harus diberikan kepada seorang
hakim yang ahli di bidang hukum dan dia menjatuhkan hukuman sesuai dengan
hukum-hukum Islam. Sehingga hanya yang terbukti melakukan tindak kriminal saja
yang dihukum. Para pelaku kriminal mungkin
saja tidak mendapat putusan yang pasti tapi mereka tidak akan bisa menghindar
dari hukuman di Hari Pembalasan. Dengan merujuk pada kedua kerangka sistem
Peradilan diatas, marilah kita bandingkan cara mengatasi tindak-tindak kriminal
pada umumnya yang kita sangat mengkhawatirkannya.
1.
Perampokan: anda mungkin pernah mengalami atau
mengetahui orang yang mengalami hal ini.
Sistem hukum Inggris: hukuman
bersifat bebas, artinya tergantung dari ́́́kriminalnya, tapi biasanya dihukum
oleh hukum mayoritas.
Sistem
Peradilan Islam: bila kesalahannya pasti, hakim akan mempertimbangkan
sebab-sebab kejahatan tersebut dan berijtihad (menggali hukum dari Al-Qur`an
dan As-Sunnah). Bagaimanapun hal ini merupakan kejahatan publik terhadap
kematian seandainya perampokan tersebut mengarah kepada kematian.
2.
Pencurian: pencurian sangant umum terjadi di Inggris.
Anda pasti takut rumah anda akan dibobol
bila bepergian dalam jangka waktu yang cukup lama.
Sistem hukum Inggris: putusan
hukuman bersifat bebas (tidak mengikat) tergantung jenis kriminalnya, tapi
biasanya dihukum penjara.[3]
Sistem Peradilan Islam: pencuri
akan dipotong tangannya apabila telah memenuhi 7 persyaratan dari hukuman ini.
Mereka tidak diperkenankan melaksanakan (pemotongan tangan tersebut) dengan
operasi.
3.
Pemerkosaan: pemerkosaan di Inggris rata-rata terjadi
tiap 2,5 jam. Banyak yang tidak terekam dan pada umumnya pelaku dikenal oleh
korban.
Sistem hukum Inggris :
hukumannya bersifat tidak mengikat, tetapi hukumannya beragam. Dari mulai denda
hingga hukuman penjara seumur hidup.
Sistem peradilan Islam: hukuman
mati
4.
Penyalahgunaan narkoba: ini sangat umum terjadi disemua
kalangan, khususnya remaja. Biasanya hal ini dianggap sebagai kebiasaan yang
tidak berbahaya. Anda mungkin khawatir terhadap anak kecil atau kerabat. Tapi
jika tidak, anda seharusnya khawatir
Sistem hukum Inggris: hukuman
tergantung dari sifat obatnya dan jumlah yang dimiliki. Karena alkohol sah di
Inggris, untuk obat-obat yang tergolong ringan seperti marijuana, para
pelanggarnya biasanya hanya diperingatkan, tapi pemakai obat-obat yang tegolong
berat (seperti kokain, heroin) mungkin dipenjara.
Sistem peradilan Islam: para
pelanggar di dera 80 kali cambukan di depan umum.
5.
Zina: sehubungan dengan tekanan masyarakat untuk
memberikan ruang terhadap kebebasan berhubungan dan kebebasan seksual, anda
berhak khawatir terhadap perilaku remaja ataupun orang dewasa yang terpengaruh
oleh hal tersebut.
Sistem hukum
Inggris: kedua kebebasan diatas adalah sah, baik dilakukan antara lawan jenis
ataupun sejenis (yaitu homosex). Bahkan bila anda mengkritik hal ini, anda akan
dituduh tidak toleran dan diskriminatif.
Sistem peradilan
Islam: perbuatan zina (bagi yang masih lajang) diganjar dengan 100 kali
cambukan. Sedang zina bagi orang dewasa/menikah) dan zina homosex keduanya
dihukum mati ditempat umum.
Tujuan dibalik
pelaksanaan peradilan dalam Islam adalah bertindak sebagai pencegah, untuk
merubah sikap para pelanggar dan untuk menyelamatkan masyarakat. Sebagaimana
diketahui, sifat dari hukuman-hukuman tersebut dalam
sistem Peradilan Islam memastikan bahwa tujuan-tujuan tersebut tercapai. Sejarah telah memberi kesaksian akan hal ini dimana hanya sekitar 200 orang tercatat yang dipotong tangannya dari keseluruhan sejarah Negara Islam. Tetapi di Barat, 70% narapidana kembali melakukan kesalahan sesaat setelah dibebasklan, dan angka kejahatan tidak menunjukkan sebuah pencegahan yang berhasil. Salah satu problem mendasar yang ada di Barat adalah komplitnya pertentangan idiologi yang disandarkan kepada kehendak masyarakat. Di satu sisi, dinyatakan bahwa kebebasan adalah hak asasi individu. Dan hal inilah yang membuka peluang terhadap tindak kejahatan. Bila hal ini dihubungkan dengan konsep demokrasi, kontradiksi akan muncul sebab demokrasi adalah sebuah sistem untuk membuat
undang-undang sebagai alat untuk membatasi kebebasan. Dan hasil dari konsep “amburadul” ini adalah kekacauan!.
sistem Peradilan Islam memastikan bahwa tujuan-tujuan tersebut tercapai. Sejarah telah memberi kesaksian akan hal ini dimana hanya sekitar 200 orang tercatat yang dipotong tangannya dari keseluruhan sejarah Negara Islam. Tetapi di Barat, 70% narapidana kembali melakukan kesalahan sesaat setelah dibebasklan, dan angka kejahatan tidak menunjukkan sebuah pencegahan yang berhasil. Salah satu problem mendasar yang ada di Barat adalah komplitnya pertentangan idiologi yang disandarkan kepada kehendak masyarakat. Di satu sisi, dinyatakan bahwa kebebasan adalah hak asasi individu. Dan hal inilah yang membuka peluang terhadap tindak kejahatan. Bila hal ini dihubungkan dengan konsep demokrasi, kontradiksi akan muncul sebab demokrasi adalah sebuah sistem untuk membuat
undang-undang sebagai alat untuk membatasi kebebasan. Dan hasil dari konsep “amburadul” ini adalah kekacauan!.
Sementara,
keadilan yang dijalankan oleh sistem Peradilan Islam akan menentramkan jiwa
anda, aman dan yakin bahwa hak-hak anda tidak akan disalahgunakan. Setelah
mempertimbangkanadanya ketakwaan personal dan opini umum, tingkat peraturan
terakhir adalah Sistem Peradilan Islam menjamin bahwa dunia akan terbebas dari
eksploitasi dan korupsi hukum buatan manusia dan juga tindak kriminal yang
menyertainya.
Pada masa ini
hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa
dikatakan sempurna (syumul), mencakup masalah mu’amalah, ahwal
al-syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja
dalam masalah ibadah.
Hukum Islam juga menjadi sistem hukum
mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam nusantar. Tidaklah berlebihan
jika dikatakan pada masa jauh sebelum penjajahan belanda, hukum islam menjadi
hukum yang positif di nusantara.[4]
4. Hukum Islam Pada Masa
Penjajahan Belanda
Perkembangan
hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat diklasifikasi
kedalam dua bentuk, Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC
yang memberikan ruang agak luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua,
adanya upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkan pada
hukum adat.
Pada fase kedua ini Belanda ingin
menerapkan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia, yaitu Belanda ingin
menata kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda, dengan tahap-tahap
kebijakkan strategiknya yaitu:
-
Receptie
in Complexu (Salomon
Keyzer & Christian Van Den Berg [1845-1927]), teori ini menyatakan hukum
menyangkut agama seseorang. Jika orang itu memeluk Islam maka hukum Islamlah
yang berlaku baginya, namum hukum Islam yang berlaku tetaplah hanya dalam
masalah hukum keluarga, perkawinan dan warisan.
Teori Receptie ( Snouck Hurgronje [1857-1936] disistemisasi oleh
C. Van Vollenhoven dan Ter Harr Bzn), teori ini menyatakan bahwa hukum Islam
baru diterima memiliki kekuatan hukum jika benar-benar diterima oleh hukum
adat, implikasi dari teori ini mengakibatkan perkembangan dan pertumbuhan hukum
Islam menjadi lambat dibandingkan institusi lainnya. di nusantara.[5]
5. Hukum Islam Pada Masa
Penjajahan Jepang
Menurut Daniel S. Lev Jepang memilih untuk
tidak mengubah atau mempertahankan beberapa peraturan yang ada. Adat istiadat
lokal dan praktik keagamaan tidak dicampuri oleh Jepang untuk mencegah
resistensi, perlawanan dan oposisi yang tidak diinginkan.
Jepang hanya berusaha menghapus
simbol-simbol pemerintahan Belanda di Indonesia, dan pengaruh kebijakan
pemerintahan Jepang terhadap perkembangan hukum di indonesia tidak begiti
signifikan.
1) Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan
Salah satu makna terbesar kemerdekaan bagi
bangsa Indonesia adalah terbebas dari pengaruh hukum Belanda, menurut Prof.
Hazairin, setelah kemerdekaan,
walaupun aturan peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa hukum yang lama masih
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan
pemerintahan Belanda yang berdasar teori receptie (Hazairin menyebutnya
sebagai teori iblis) tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD
1945.
Teori receptie harus exit
karena bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah Rosul. Disamping Hazairin,
Sayuti Thalib juga mencetuskan teori Receptie a Contrario, yang menyatakan
bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
2) Hukum Islam Pada Masa Pemerintahan Orde
Baru
Pada awal orde baru berkuasa ada harapan
baru bagi dinamika perkembangan hukum Islam, harapan ini timbul setidaknya
karena kontribusi yang cukup besar yang diberikan umat Islam dalam menumbangkan
rezim orde lama. Namun pada realitasnya keinginan ini menurut DR. Amiiur
Nurudin bertubrukan denagn strategi pembangunan orde baru, yaitu menabukan
pembicaraan masalah-masalah ideologis selain Pancasila terutama yang bersifat
keagamaan.
Namun dalam era orde baru ini banyak
produk hukum Islam (tepatnya Hukum Perdata Islam) yang menjadi hukum positif
yang berlaku secara yuridis formal, walaupun didapat dengan perjuangan keras
umat Islam. Diantaranya oleh Ismail Sunny coba diskrisipsikan
secara kronologis berikut ini :
a. Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan
Politik
hukum memberlakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh pemerintah orde
baru, dibuktikan oleh UU ini, pada pasal 2 diundangkan ”Perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu”
dan pada pasal 63 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam UU ini
adalah Pengadilan Agama (PA) bagi agama Islam dan Pengadilan Negeri (PN) bagi
pemeluk agama lainnya.
Dengan UU No. 1 tahun 1974
Pemerintah dan DPR memberlakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluk Islam dan
menegaskan bahwa Pengadilan Agama berlaku bagi mereka yang beragama Islam.
b. Undang- undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama
Dengan disahkanya UU PA tersebut, maka
terjadi perubahan penting dan mendasar dalam lingkungan PA. Diantaranya:
-
PA
telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya benar-benar telah sejajar dan
sederajat dengan peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha
negara.
-
Nama,
susunan, wewenang, kekuasaan dan hukum acaranya telah sama dan seragam
diseluruh Indonesia. Dengan univikasi hukum acara PA ini maka memudahkan
terjadinya ketertiban dan kepastian hukum dalam lingkungan PA.
-
Terlaksananya
ketentuan-ketentuan dam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman 1970.
-
Terlaksanya
pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara dan berwawasab Bhineka Tunggal
ika dalam UU PA.
c. Kompilasi Hukum Islam Inpres no. 1 tahun 1991
(KHI)
Seperti diuraikan diawal makalah ini bahwa
sejak masa kerajaan-kerajan Islam di nusantara, hukum Islam dan peradilan agama
telah eksis. Tetapi hakim-hakim agama diperadilan tersebut sampai adanya KHI
tidak mempunyai kitab hokum khusus sebagai pegangan dalam memecahkan
kasus-kasus yang mereka hadapi.
Dalam menghadapi kasus-kasus itu
hakim-hakim tersebut merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang puluhan banyaknya.
Oleh karena itu sering terjadi dua kasus serupa apabila ditangani oleh dua
orang hakim yang berbeda referensi kitabnya, keputusannya dapat berbeda pula,
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Guna mengatasi ketidakpastian hukum
tersebut pada Maret 1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehigga terbitlah
Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Makamah Agung dan Departemen Agama.SKB itu
membentuk proyek kompilasi hukum islam dengan tujuan merancang tiga buku hukum,
masing-masing tentang Hukum perkawinan (Buku I), tentang Hukum Kewarisan (Buku
II), dan tentang Hukum Perwakafan (BUKU III)
Bulan Februari 1988 ketiga buku itu dilokakaryakan
dan mendapat dukungan luas sebagai inovasi dari para ulama di seluruh
Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1991 Suharto menandatangani Intruksi Presiden
No. 1 tahun 1991 sebagai dasar hukum berlakunya KHI tersebut.
Oleh karena itu sudah jelas
bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam
telah ditetapkan oleh undang-undang yang berlaku adalah hukum Islam.
3) Hukum Islam Pada Masa Reformasi
Era reformasi dimana iklim demokrasi di
Indonesia membaik dimana tidak ada lagi kekuasaan repsesif seperti era orde
baru, dan bertambah luasnya keran-keran aspirasi politik umat Islam pada pemilu
1999, dengan bermunculannya partai-partai Islam dan munculnya tokoh-tokoh
politik Islam dalam kancah politik nasional sehingga keterwakilan suara umat
Islam bertambah di lembaga legislatif maupun eksekutif.
Mereka giat memperjuangkan aspirasi umat
Islam terrmasuk juga memperjuangkan bagaimana hukum Islam ikut juga mewarnai
proses pembanguanan hukum nasional.
Diantara produk hukum yang positif diera
reformasi sementara ini yang sangat jelas bermuatan hukum Islam (Hukum Perdata
Islam) ini antara lain adalah
-
Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
-
Undang-undang
No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf
-
RUU
tentang Perbankan Syariah yang saat ini sedang dibahas di DPR.
Daftar Pustaka
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta: Rajawali Pers, 2003
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta:
sinar grafika, 2004
Tim Penyusun, Bunga Rampai Peradilan Islam di
Indonesia Jilid 1,
Bandung: Ulul Albab Pres, 1997
Tim Penyusun, Bunga Rampai Peradilan Islam di
Indonesia Jilid 1, (Bandung: Ulul Albab Pres, 1997), h 73
Bandung: Ulul Albab Pres, 1997
[5] Tim Penyusun, Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia Jilid 1,
(Bandung: Ulul Albab Pres, 1997), h 73
Bingung kalau mikirin Indonesia dengan hukumnya
BalasHapusSepatu Murah
Sepatu Import
Pusat Grosir Sepatu
Sepatu Import Murah