I
PENDAHULUAN
Qawaidul
fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya
mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada
yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami
selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari
pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
Makalah
ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang
hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqh, mulai dari definisi,
pembagian dan sistematika kaidah fiqh.
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
1. Pengertian Kaidah
Sebagai
studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh diawali
dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan.
Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu
dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh.
Qawaid
merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia
disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson
menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun
(peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau
cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
”Allah akan menghancurkan rumah-rumah
mereka dari fondasinya”. (Q.S. An-Nahl : 26)
Sedangkan
dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut
Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Kaum yang bersifat universal (kulli)
yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.
Sedangkan
mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
”Hukum yang biasa berlaku yang
bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
Sedangkan
arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak
dipahami, yaitu :
”Untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama” (Q.S. At-Taubat : 122)
Sedangkan
menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili
(terperinci)
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah
umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak
yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Dari
pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur
beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.
2. Kaidah-kaidah Fiqh yang umum
Kaidah-kaidah
Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun disini kami hanya menjelaskan
sebagiannya saja, yaitu :
1. “ijthat
yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihat yang baru”
2. “apa
yang haram diambil haram pula diberikannya”
Atas
dasar kaidah ini, maka haram memberikan uang hasil korupsi atau hasil suap.
Sebab, perbuatan demikian bisa diartikan tolong menolong dalam dosa.
3. “Apa
yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”
4. “Petunjuk
sesuatu pada unsure-unsur yang tersembunyi mempunyai kekuatan sebagai dalil”
Maksud
kaidah ini adalah ada hal-hal yang sulit diketahui oleh umum, akan tetapi ada
tanda-tanda yang menunjukkan hal tadi. Contoh dari kaidah ini, seperti : Barang
yang dicuri ada pada si B, keadaan ini setidaknya bisa jadi petunjuk bahwa si B
adalah pencurinya, kecuali dia bisa membuktikan bahwa barang tersebut bukan
hasil curian.
5. “Barang
siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung akibat tidak
mendapat sesuatu tersebut”.
3. Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus
Banyak
kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungan
lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang fioqh
tertentu, yaitu :
1. Kaidah
fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah
“Setiap yang sah digunakan untuk shalat
sunnah secara mutlak sah pula digunakan shalat fardhu”
2. Kaidah
fiqh yang khusuh di bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah
Dalam hukum islam, hukum keluarga meliputi : pernikahan, waris, wasiat, waqaf dzurri (keluarga) dan hibah di kalangan keluarga. Salah satu dari kaidah ini, yaitu
Dalam hukum islam, hukum keluarga meliputi : pernikahan, waris, wasiat, waqaf dzurri (keluarga) dan hibah di kalangan keluarga. Salah satu dari kaidah ini, yaitu
“Hukum asal pada masalah seks adalah
haram”
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan
seks, pada asalnya haram sampai datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa
meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.
3. Kaidah
fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah
adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud
dari kaidah ini adalah bahwa setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya
boleh, seperti : jual beli, sewa-menyewa, kerja sama. Kecuali yang tegas-tegas
diharamkan seperti yang mengakibatkan kemudharatan, penipuan, judi dan riba.
4. Kaidah
fiqh yang khusus di bidang jinayah.
Fiqh
jinayah adalah hukum islam yang membahas tentang aturan berbagai kejahatan dan
sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya. Salah satu
kaidah khusus fiqh jinayah adalah :
“Tidak boleh seseorang mengambil harta
orang lain tanpa dibenarkan syari’ah”
Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah adalah pencurian atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari’ah maka diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari muzaki yang sudah wajib mengeluarkan zakat.
Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah adalah pencurian atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari’ah maka diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari muzaki yang sudah wajib mengeluarkan zakat.
Kaidah fiqh yang khusus di bidang
siyasah
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap
rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”.
Kaidah
ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus beorientasi kepada kemaslahatan
rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keluarganya maupun golongannya.
5. Kaidah
fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum acara)
Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat, baik dalam bidangnya, seperti mahkamah konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari daerah sampai mahkamah agung. Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara kaidah fiqh dalam bidang ini yaitu :
Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat, baik dalam bidangnya, seperti mahkamah konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari daerah sampai mahkamah agung. Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara kaidah fiqh dalam bidang ini yaitu :
“Perdamaian diantara kaum muslimin
adalah boleh kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram”
Perdamaian
antara penggugat dan tergugat adalah baik dan diperbolehkan, kecuali perdamaian
yang berisi menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
4. Sejarah Perkembangan Qawaidul
Fiqhiyah
Sejarah
perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase,
yaitu :
1. Fase
pertumbuhan dan pembentukan
Masa
pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih.
Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarahhukumi islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarahhukumi islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
Generasi
berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama
yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub
ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj,
kaidah-kaidah yang disusun adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang tidak
memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”
Kaidah
tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu
lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta peninggalan (tirkah atau
mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
2. Fase
perkembangan dan kodifikasi
Dalam
sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini,
sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam
mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar
kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa
berikutnya.
Pada
abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh,
karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh
terpenting dan termasyhur abad ini adalah :
·
Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn
wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
·
Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri
al-maliki (W. 750 H)
·
Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid
al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761 H)
·
Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab
al-Hambali (W. 795 H)
3. Fase
kematangan dan penyempurnaan
Abad
X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak
berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya.
Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah
“seseorang tidak dibolehkan mengelola
harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya”.
5. Pembagian Kaidah Fiqh
Cara
membedakan sesuatu dapat dilakukan dibeberapa segi :
1.
Segi fungsi
Dari
segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan
marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki
cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra
al-Asasiyyat, umpamanya :
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam
menetapkan hukum”
Dengan
demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih
atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’
2.
Segi mustasnayat
Dari
sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : kaidah
yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.
Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah :
Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah :
”Bukti dibebankan kepada penggugat dan
sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
3.
Segi kualitas
Dari
segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
·
Kaidah kunci
Kaidah
kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat
dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
”Menolak kerusakan (kejelekan) dan
mendapatkan maslahat”
Kaidah
diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar
manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan
kemaslahatan.
·
Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang
tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam.
6. Manfaat Kaidah Fiqh
Manfaat
dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
1. Dengan
kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan
mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu
dari masalah-masalah fiqh.
2. Dengan
memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi.
3. Dengan
kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan
tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda.
4. Meskipun
kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada
dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan
al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
Menurut
Imam Ali al-Nadawi (1994)
1. Mempermudah
dalam menguasai materi hokum
2. kaidah
membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
3. mempermudah
orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hokum dengan
mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topic
4. Meringkas
persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hokum dibentuk untuk
menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih
besar
5. Pengetahuan
tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami
furu’ yang bermacam-macam.
7. Urgensi Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah
fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
1. Dari
sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan
menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh, ulama
dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan
2. Dari
segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan
belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu
alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau
kepastian hukumnya.
Abdul
Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah
mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai
perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telh sempurna dengan adanya
nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang
kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.
Karena
cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa
kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’
menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para
mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah,
yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya
Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah
fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan
menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan
al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar
pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang
paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara
furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai
furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.
8. Kaidah-kaidah Fiqh yang Asasi
1. Meraih
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
Izzuddin
bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam
mengatakan bahwa seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik dengan cara menolak
mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada
kemaslahatan, adapula ynag menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu
diperintahkan oleh syari’ah dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari’ah.
2. Al-Qawaid
al-Khamsah (lima kaidah asasi)
Kelima
kaidah asasi tersebut sebagai berikut :
a.
Kaidah asasi pertama
“segala perkara tergantung kepada
niatnya”
Niat
sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang,
apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan
melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena
Allah, tetapi agar disanjung orang lain.
b. Kaidah asasi kedua
“keyakinan tisak bisa dihilangkan dengan
adanya keraguan”
c.
Kaidah asasi ketiga
“kesulitan mendatangkan kemudahan”
Makna
dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan
kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya, sehingga
mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
d.
Kaidah asasi keempat
“kemudhoratan harus dihilangkan”
Kaidah
tersebut kembali kepada tujuan merealisasikan maqasid al-Syari’ah dengan
menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan kemudhoratan atau
setidak-tidaknya meringankannya.
e.
Kaidah asasi kelima
“adat kebiasaan dapat dijadikan
(pertimbangan) hukum”
Adat
yang dimaksudkan kaidah diatas mencakup hal yang penting, yaitu : di dalam
adapt ada unsure berulang-ulang dilakukan, yang dikenal sebagai sesuatu yang
baik.
III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Kaidah-kaidah
fiqh ituterdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat menyeluruh
yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyatnya
(bagian-bagiannya)
2. Salah
satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum
fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian menjadi
titik temu dari masalah-masalahfiqh.
3. Adapun
kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :
·
Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh
digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an
dan as-Sunnah.
·
Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh
digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil
pokok.
Saran
Penyusun
makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku
referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin
mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca
sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini
saja.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, HA, 2006, Kaidah-kaidah fiqh, Jakarta : kencana
Mujib, Abdul, 1978, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Malang : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel
Usman, Muslih, 1999, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah,
Jakarta : Rajawali Pers
Effendi,
Satria, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta :
Kencana
Mubarok,
Jaih, 2002, Kaidah Fioqh, Jakarta :
Rajawali Pers
Djazuli,
HA, 2005, Ilmu Fiqh, Jakarta :
Kencana
Asjmuni,
A Rahman, 1976, Kaidah-kaidah Fiqh,
Jakarta : Bulan Bintang
Ash-shiddiqie,
Hasbi, 1999, Mabahits fi al-Qawaidul
Fiqhiyah.
Al-Nadwi,
Ali Ahmad, 1998, Al-Qawaidul Fiqhiyah,
Beirut : Dar al-Kalam
Faisal, Enceng Arif, 2004, Kaidah Fiqh Jinayah, Bandung : Pustaka
Bani Quraisy
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Di Indonesia
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar