BAB I
PENDAHULUAN
Pendekatan
antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan
masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan
jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu
antropologis dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.
Antropologi lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya
partisipatif.
Antropologi,
sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk
memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku
mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Posisi penting
manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama
dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia.
Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama
yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah
pergumulan keagamaannya.
Dengan
demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak
akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya
adalah realitas kemanusiaan dalam dunia nyata.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Tradisi Antropologi dalam Kajian
Agama
Walaupun
sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena
meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya
terletak pada keyakinan, tradisi antropologi untuk mengkaji agama, terutama
abad ke 16 dan 17, berkembang dengan pesat.
Kesulitan
mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana,
pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama,
dirasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena
ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu
untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama
adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci
Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah "takdir sosial"
yang tak perlu lagi dipahami.
Sesungguhnya
harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh budaya olah
pikir manusia tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah
penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke
wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam
bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama
ke dalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu
tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih adalah hasil konstruksi
intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan kebutuhan
manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya
yang ada di dunia ini mengakibatkan pada kompleksitas agama.
Sebagai
fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah
mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama
berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas
sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan
sosial dan transformasi sosial..
Secara
garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat
kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist.
Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut
pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap
masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu
masyarakat
Walaupun
definisi agama ini sangat sederhana, definisi ini menunjukkan kecenderungan
melakukan generalisasi realitas agama dari animisme sampai kepada agama
monoteis. Makanya kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti
dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju monoteisme.
Sementara
itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat sangat berpengaruh dalam
tradisi antropologi sosial di Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan
bahwa masyarakat saling terikat satu dengan yang lain, telah mendorong para
antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang tersebut.
Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi
sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari
perkembangan teori fungsionalisme.
Dalam
setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan
rasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional
Suku Trobiand di daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah
dirusak oleh babi hutan, maka dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan
teknologinya masyarakat suku Trobiand membuat pagar agar babi tak dapat lagi
masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu ikan di lautan, dimana
gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan kemampuan
rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahnya. Maka
sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji sebagai sarana
komunikasi dengan kekuatan spiritual.
Teori
simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga
mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim
membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual
dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan
masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan ritual sebagai
simbol.
Dalam
pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada
argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama
dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam
kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam
kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal
yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.
Jika
agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya
persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam
manusia digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Secara
antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah
realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia-termasuk di dalamnya adalah
realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna,
karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat
betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi,
menjadi sangat penting.
Pentingnya
mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur'an ketika
membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur'an seringkali menggunakan
"orang" untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk
menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur'an menunjuk pada konsep
"muttaqien", untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur'an menggunakan
kata "orang sabar" dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan
Qur'an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu
termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep
agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.
Dengan
demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan.
Dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan
ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah
mempelajari Tuhan (agama) dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas
manusia-yang tercermin dalam bermacam-macam budaya-beragam, maka diperlukan
kajian cross culture untuk melihat realitas universal agama.
2. Agama Sebagai Sistem Budaya
Geertz
adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah
system budaya. Karya Geertz, "Religion as a Cultural System,"
dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu
ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada teori-teori besar Mark,
Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan struktural
fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan
bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang mampu mengubah suatu
tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai
bagian kecil dari system budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah system
budaya sendiri yang dapat membentuk karakter masyarakat. Walaupun Geertz
mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru, tetapi agaknya sedikit orang
yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam.
Geertz
menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu
masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam
Observed merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam
masyarakat. Buku The Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan
ekonomi dan politik suatu daerah. Juga bagaimana agama menjadi ideologi
kelompok yang kemudian menimbulkan konflik maupun integrasi dalam suatu
masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat perwujudan agama dalam
masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat
maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.
3. Pendidikan Islam Dalam
Pendekatan Antropologi
Antropologi
adalah suatu ilmu yang memahami sifat-sifat semua jenis manusia secara lebih
komprehensif. Antropologi pertama kali dipergunakan oleh kaum Misionaris dalam
rangka penyebaran agama Nasrani dan bersamaan dengan itu pula berlangsung
sistem penjajahan terhadap negar-negara diluar Eropa. Pada era dewasa ini,
antropologi dipergunakan sebagai suatu hal untuk kepentingan kemanusiaan yang
lebih luas. Studi antropologi selain untuk kepentingan pengembangan ilmu itu
sendiri, di negara-negara yang masuk dalam kategori Negara ketiga (Negara
berkembang) sangat urgen sebagai “pisau analisis” untuk pengambilan kebijakan
(policy) dalam rangka pembangunan dan pengembangan masyarakat. Sebagai suatu
disiplin ilmu yang cakupan studinya cukup luas, maka tidak ada seorang ahli
antropologi yang mampu menelaah dan menguasai antropologi secara sempurna dan
global. Sehingga, antropologi terfregmentasi menjadi beberapa bagian yang
masing-masing ahli antropologi mengkhususkan dirinya pada spesialisasi
bidangnya masing-masing. Pada tataran ini, antropologi menjadi amat plural,
sesuai dengan perkembangan ahli-ahli antropologi dalam mengarahkan studinya
untuk lebih memahami sifat-sifat dan hajat hidup manusia secara lebih
komprehensif. Masih berhubungan dengan ini pula, ada bermacam-macam antropologi
seperti antropologi ekonomi, antropologi politik, antropologi kebudayaan,
antropologi agama, antropologi pendidikan, antropologi perkotaan, dan lain
sebagainya
Dan
dalam studi kependidikan yang dikaji melalui pendekatan antropologi, maka
kajian tersebut masuk dalam sub antropologi yang bias dikenal menjadi
antropologi pendidikan. Artinya apabila antropologi pendidikan dimunculkan
sebagai suatu materi kajian, maka yang objek dikajiannya adalah penggunaan
teori-teori dan metode yang digunakan oleh para antropolog serta pengetahuan
yang diperoleh khususnya yang berhubungan dengan kebutuhan manusia atau
masyarakat. Dengan demikian, kajian materi antropologi pendidikan, bukan
bertujuan menghasilkan ahli-ahli antropologi melainkan menambah wawasan ilmu
pengetahuan tentang pendidikan melalui perspektif antropologi. Meskipun
berkemungkinan ada yang menjadi antropolog pendidikan setelah memperoleh
wawasan pengetahuan dari mengkaji antropologi pendidikan.
Karakteristik
dari antropologi pendidikan Islam adalah terletak pada sasaran kajiannya yang
tertuju pada fenomena pemikiran yang berarah balik dengan fenomena Pendidikan
Agama Islam (PAI). Pendidikan Agama Islam arahnya dari atas ke bawah, artinya
sesuatu yang dilakukan berupa upaya agar wahyu dan ajaran Islam dapat dijadikan
pandangan hidup anak didik (manusia). Sedangkan antropologi pendidikan Islam
dari bawah ke atas, mempunyai sesuatu yang diupayakan dalam mendidik anak, agar
anak dapat membangun pandangan hidup berdasarkan pengalaman agamanya bagi
kemampuannya untuk menghadapi lingkungan. Masalah ilmiah yang mendasar pada
Pendidikan Agama Islam adalah berpusat pada bagaimana (metode) cara yang
seharusnya dilakukan. Sedangkan masalah yang mendasar pada antropologi
pendidikan Islam adalah berpusat pada pengalaman apa yang ditemui.
Ibnu
Sina, yang kita kenal sebagai tokoh kedokteran dalam dunia Islam ternyata juga
merupakan sorang pemerhati pendidikan anak usia dini yang merupakan pengalaman
pertama anak. Ibnu Sina banyak memaparkan tentang pentingnya pendidikan usia
dini yang dimulai dengan pemberian “nama yang baik” dan diteruskan dengan
membiasakan berperilaku, berucap-kata, dan berpenampilan yang baik serta pujian
dan hukuman dalam mendidikan anak. Dan juga yang paling urgen adalah penanaman
nilai-nilai sosial pada anak seperti rasa belas kasihan (confession) dan empati
terhadap orang lain.
4.
Studi
Islam Pendekatan antropologi di Indonesia
Di Indonesia usaha para Antropolog
untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali
karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an
menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di
Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya
trikotomi-abangan, santri dan priyayi-di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah
mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara
agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik..
Pandangan trikotomi Geertz tentang
pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap
cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan
Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial
politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz
mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada
realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok
abangan dan santri.
Pernyataan Geertz bahwa abangan
adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis
pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai
afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik
dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri
memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah
keagamaan.
Teori politik aliran ini, menurut
Bahtiar Effendy memberikan arti penting terhadap wacana tentang hubungan antara
agama-khususnya Islam-dan negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk
memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokkan
religio-sosial di Indonesia.
Karya Geertz ini disebut untuk
sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indonesia telah
berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat
secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara
agama dan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang
sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi
antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan
diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan
budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan.
Terbukanya komunikasi dan ruang bagi
dialog antarbudaya memungkinkan masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau
memberikan alternatif terhadap kebenaran. Ungkapan terkenal James Clifford
tentang runtuhnya "mercu suar" untuk mengklaim suatu kenyataan dengan
ukuran rasionalitas Barat, menunjukkan bangkitnya "pengetahuan lokal"
di era posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga
menyatukan budaya dunia atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam
pertarungan dunia, menjadi sangat penting.
Jika kembali pada persoalan kajian
antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat
dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu
mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada
pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara
empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada
dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi
keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan
yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus
diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka
pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian sebagai akibat dari
pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi
kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of
meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek
esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia.
Kajian antropologi juga memberikan
fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya
dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan
menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan
cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan
budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan
kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu
gagasan moral dunia berdasarkan pada kekayaan
budaya dunia.
BAB III
KESIMPULAN
Kajian-kajian tentang agama dan
budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan
dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya
berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan Islam
lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau
local konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan
sebagai tambahan wacana baru globalisasi.
Pemahaman agama tidak akan lengkap
tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting
manusia dalam Islam-seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya
merupakan tiupan dari ruh Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati
posisi penting dalam mengetahui tentang Tuhan.
Dengan demikian pemahaman agama
secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu
manusia. Tidak berlebihan untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya
adalah realitas ketuhanan yang empiris. Di sinilah letak pentingnya pendekatan
antropologi dalam mengkaji Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Relegius Sebagai
Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gama Media. 2002.
Ahmad,
Akbar S, Kearah Antropologi Islam,
Jakarta: Media Da’wah
Azyumardi Azra. Pendidikan
Islam: Tradisi Dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru. Jakarta: PT.
Logos Wacana Ilmu. 2002.
Hoselitz,
Bets F, Panduan Dasar Ilmu-Ilmu Sosial,
Jakarta: CV. Rajawali, 1988
Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi. Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Benang Tradisi Dan Integrasi
Keilmuan Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2004.
Koentjaraningrat,
Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta:
Aksara Baru, 1980
M.
Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar,
Bandung: PT. Erosco, 1993
Noto
Abuddin, Metodologi Studi Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Sulaeman,
Munandar, Ilmu Budaya Dasar, Bandung:
PT. Erosco, 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar