Jumat, 27 Januari 2012

HUKUM ISLAM DI INDONESIA


1. SISTEM PERADILAN ISLAM I
a. Fakta Tentang Sistem Peradilan
Dalam peradilan Hukum Islam, hanya ada satu hakim yangbertanggung jawab terhadap berbagai kasus pengadilan. Dia memiliki otoritas untuk menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Keputusan-keputusan lain mungkin hanya bersifat menyarankan atau membantu jika diperlukan (yang dilakukan oleh hakim ketua).
Tidak ada sistem dewan juri dalam Islam. Nasib seorang tidak diserahkan kepada tindakan dan prasangka ke-12 orang yang bisa saja keliru karena bukan saksi dalam kasus tersebut dan bahkan mungkin pelaku kriminal itu sendiri!.Hukumanhukuman dalam Islam hanya bisa dilakukan apabila perbuatantersebut terbukti 100% secara pasti dan kondisi yang relevan dapatditemukan (misal ada 4 saksi untuk membuktikan perzinahan) jika masih adakeraguan tentang peristiwa-peristiwa tersebut maka seluruh kasus akan
dibuang.[1]
Ada 3 macam hakim dalam Islam, yaitu:
1.      Qodli ‘Aam: bertanggung jawab untuk menyelesaikan perselisihan ditengah-tengah masyarakat, misalnya masalah sehari-hari yang terjadi didarat, tabrakan mobil, kecelakaan-kecelakaan, dsb.
2.      Qodli Muhtasib: bertanggung jawab menyelesaikan perselisihan yang timbul diantara ummat dan beberapa orang, yang menggangu masyarakat luas, misalnya berteriak dijalanan, mencuri di pasar, dsb.
3.      Qodli Madzaalim: yang mengurusi permasalahan antara masyarakat dengan pejabat negara. Dia dapat memecat para penguasa atau pegawai pemerintah termasuk khalifah.
Khalifah kedua yaitu Umar Ibnu Al Khattab (Amir kaum muslimin antara tahun 634-644 M) adalah orang pertama yang membuat penjara dan rumah tahanan di Mekkah. Dibawah sistem peradilan (Islam), setiap orang, muslim atau non muslim, laki-laki atau perempuan, terdakwa dan orang yang dituduh memiliki hak menunjuk seorang wakil (proxy). Tidak ada perbedaan antara pengadilan perdata dengan kriminal seperti yang kita lihat sekarang di negeri-negeri Islam seperti di Pakistan dimana sebagian hokum Islam dan sebagian hokum kufur keduanya diterapkan. Negara Islam hanya akan menggunakan sumber-sumber hukum Islam yakni, Al-Qur`an dan As-Sunnah (dan segala sesuatu yang berasal dari keduanya) sebagai rujukannya. Hukuman-hukuman Islami akan dilaksanakan tanpa penundaan dan keraguan.[2]
Tidak seorangpun akan di hukum kecuali oleh peraturan pengadilan. Selain itu, sarana (alat-alat) penyiksaan tidak diperbolehkan.Dibawah sistem Islam, seseorang yang dirugikan dalam suatu kejahatan mempunyai hak untuk memaafkan terdakwa atau menuntut ganti rugi (misal qishas) untuk suatu tindak kejahatan. Khusus untuk hukum hudud, merupakan hak Allah.Hukum potong tangan dalam Islam hanya akan diterapkan
apabila memenuhi 7 persyaratan, yaitu:
1.      Ada saksi (yang tidak kontradiksi atau salah dalam kesaksiannya)
2.      Nilai barang yang dicuri harus mencapai 0,25 dinar atau senilai 4,25 gr emas.
3.      Bukan berupa makanan (jika pencuri itu lapar)
4.      Barang yang dicuri tidak berasal dari keluarga pencuri tersebut.
5.      Barangnya halal secara alami (misal: bukan alkohol)
6.      Dipastikan dicuri dari tempat yang aman (terkunci)
7.      Tidak diragukan dari segi barangnya (artinya pencuri tersebut tidak berhak mengambil misalnya uang dari harta milik umum).
Di sepanjang 1300 tahun aturan Islam diterapkan, hanya ada sekitar 200 orang yang tangannya dipotong karena mencuri namun kejadin-kejadian pencurian sangat jarang terjadi. Setiap orang berhak menempatkan pemimpinnya di pengadilan, berbicara mengkritiknya jika pengadilan telah melakukan sejumlah pelanggaran terhadapnya. Sebagaimana ketika seorang wanita pada masa khalifah Umar Ibnu Al Khattab mengoreksi kesalahan yang dilakukan Umar tentang nilai
mahar .
Kehormatan seorang warga negara dipercayakan kepada Majlis Ummah. Hukuman atas tuduhan kepada muslim lain yang belum tentu berdosa dengan tanpa menghadirkan 4 orang saksi yang memperkuat pernyataan tersebut adalah berupa 80 kali cambukan.
Ada 4 kategori hukuman dalam sistem peradilan Islam, yaitu:
1.      Hudud. Hak Allah SWT, seperti perbuatan zina (100 cambukan), murtad (hukuman mati).
2.      Al Jinayat. Hak individu, dia boleh memaafkan tindak kejahatan seperti pembunuhan, kejahatan fisik.
3.      At Ta’zir. Hak masyarakat, perkara-perkara yang mempengaruhi kehidupan masyarakat umum sehari-hari seperti pengotoran lingkungan, mencuri di pasar.
4.      Al-Mukhalafat. Hak negara, perkara-perkara yang mempengaruhi kelancaran tugas negara misal melanggar batas kecepatan.
2. SISTEM PERADILAN DALAM ISLAM II
Manusia terbatas pengetahuannya dan bisa berbuat keliru. Mereka cenderung salah dan penuh prasangka. Islam tidak menyerahkan penentuan undang-undang keadilan kepada kehendak dan selera manusia sebagaimana yang terjadi di Barat. Akan tetapi, yang berwenang membuat hukum hanyalah Allah SWT, Pencipta manusia dan Yang Maha Mengetahui tentang diri manusia. Siapakah yang lebih berhak melakukan hal ini? Allah SWT berfirman: “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. 6 : 57).
Sesungguhnya menetapkan hukum adalah hak Allah. Maka anda tinggal meyakini bahwa dalam pengadilan Islam, faktor-faktor seperti hakim berteman dengan terdakwa atau, mengalami hari-hari yang tidak menyenangkan, tidak ada hubungannya dengan kerasnya hukuman yang akan dilaksanakan. Bila anda korban kejahatan dan anda miskin sedangkan lawan anda kaya, tidak akan berpengaruh apapun terhadap keputusan pengadilan. Bila anda diijinkan untuk menunjuk seorang wakil yang akan berbicara atas nama anda, tidak perlu ada sejumlah uang yang dipertaruhkan. Tujuan pengadilan semata-mata untuk menegakkan keadilan, bukan menghasilkan uang. Karena itu tidak perduli siapa yang mengusut kasus anda, atau betapapun pandainya dia bicara, semua diserahkan kepada hakim untuk memastikan fakta-fakta dan mengevaluasinya.
Dalam Islam, bukti kesalahan tertentu sudah cukup untuk menjatuhkan vonis. Karena itu, tidak ada konsep juri, yang anggota-anggotanya mungkin tidak sepakat terhadap suatu keputusan, dengan semata-mata mendasarkan kepada kebijakan meraka pribadi. Bukti-bukti tidak langsung yang tidak meyakinkan dan mengarah kepada penafsiran yang berbeda-beda tidaklah cukup. Seluruh bukti harus diberikan kepada seorang hakim yang ahli di bidang hukum dan dia menjatuhkan hukuman sesuai dengan hukum-hukum Islam. Sehingga hanya yang terbukti melakukan tindak kriminal saja yang dihukum. Para pelaku kriminal mungkin saja tidak mendapat putusan yang pasti tapi mereka tidak akan bisa menghindar dari hukuman di Hari Pembalasan. Dengan merujuk pada kedua kerangka sistem Peradilan diatas, marilah kita bandingkan cara mengatasi tindak-tindak kriminal pada umumnya yang kita sangat mengkhawatirkannya.
1.      Perampokan: anda mungkin pernah mengalami atau mengetahui orang yang mengalami hal ini.
Sistem hukum Inggris: hukuman bersifat bebas, artinya tergantung dari ́́́kriminalnya, tapi biasanya dihukum oleh hukum mayoritas.
Sistem Peradilan Islam: bila kesalahannya pasti, hakim akan mempertimbangkan sebab-sebab kejahatan tersebut dan berijtihad (menggali hukum dari Al-Qur`an dan As-Sunnah). Bagaimanapun hal ini merupakan kejahatan publik terhadap kematian seandainya perampokan tersebut mengarah kepada kematian.
2.      Pencurian: pencurian sangant umum terjadi di Inggris. Anda pasti takut rumah  anda akan dibobol bila bepergian dalam jangka waktu yang cukup lama.
Sistem hukum Inggris: putusan hukuman bersifat bebas (tidak mengikat) tergantung jenis kriminalnya, tapi biasanya dihukum penjara.[3]
Sistem Peradilan Islam: pencuri akan dipotong tangannya apabila telah memenuhi 7 persyaratan dari hukuman ini. Mereka tidak diperkenankan melaksanakan (pemotongan tangan tersebut) dengan operasi.
3.      Pemerkosaan: pemerkosaan di Inggris rata-rata terjadi tiap 2,5 jam. Banyak yang tidak terekam dan pada umumnya pelaku dikenal oleh korban.
Sistem hukum Inggris : hukumannya bersifat tidak mengikat, tetapi hukumannya beragam. Dari mulai denda hingga hukuman penjara seumur hidup.
Sistem peradilan Islam: hukuman mati

4.      Penyalahgunaan narkoba: ini sangat umum terjadi disemua kalangan, khususnya remaja. Biasanya hal ini dianggap sebagai kebiasaan yang tidak berbahaya. Anda mungkin khawatir terhadap anak kecil atau kerabat. Tapi jika tidak, anda seharusnya khawatir
Sistem hukum Inggris: hukuman tergantung dari sifat obatnya dan jumlah yang dimiliki. Karena alkohol sah di Inggris, untuk obat-obat yang tergolong ringan seperti marijuana, para pelanggarnya biasanya hanya diperingatkan, tapi pemakai obat-obat yang tegolong berat (seperti kokain, heroin) mungkin dipenjara.
Sistem peradilan Islam: para pelanggar di dera 80 kali cambukan di depan umum.
5.      Zina: sehubungan dengan tekanan masyarakat untuk memberikan ruang terhadap kebebasan berhubungan dan kebebasan seksual, anda berhak khawatir terhadap perilaku remaja ataupun orang dewasa yang terpengaruh oleh hal tersebut.
Sistem hukum Inggris: kedua kebebasan diatas adalah sah, baik dilakukan antara lawan jenis ataupun sejenis (yaitu homosex). Bahkan bila anda mengkritik hal ini, anda akan dituduh tidak toleran dan diskriminatif.
Sistem peradilan Islam: perbuatan zina (bagi yang masih lajang) diganjar dengan 100 kali cambukan. Sedang zina bagi orang dewasa/menikah) dan zina homosex keduanya dihukum mati ditempat umum.
Tujuan dibalik pelaksanaan peradilan dalam Islam adalah bertindak sebagai pencegah, untuk merubah sikap para pelanggar dan untuk menyelamatkan masyarakat. Sebagaimana diketahui, sifat dari hukuman-hukuman tersebut dalam
sistem Peradilan Islam memastikan bahwa tujuan-tujuan tersebut tercapai. Sejarah telah memberi kesaksian akan hal ini dimana hanya sekitar 200 orang tercatat yang dipotong tangannya dari keseluruhan sejarah Negara Islam. Tetapi di Barat, 70% narapidana kembali melakukan kesalahan sesaat setelah dibebasklan, dan angka kejahatan tidak menunjukkan sebuah pencegahan yang berhasil. Salah satu problem mendasar yang ada di Barat adalah komplitnya pertentangan idiologi yang disandarkan kepada kehendak masyarakat. Di satu sisi, dinyatakan bahwa kebebasan adalah hak asasi individu. Dan hal inilah yang membuka peluang terhadap tindak kejahatan. Bila hal ini dihubungkan dengan konsep demokrasi, kontradiksi akan muncul sebab demokrasi adalah sebuah sistem untuk membuat
undang-undang sebagai alat untuk membatasi kebebasan. Dan hasil dari konsep “amburadul” ini adalah kekacauan!.
Sementara, keadilan yang dijalankan oleh sistem Peradilan Islam akan menentramkan jiwa anda, aman dan yakin bahwa hak-hak anda tidak akan disalahgunakan. Setelah mempertimbangkanadanya ketakwaan personal dan opini umum, tingkat peraturan terakhir adalah Sistem Peradilan Islam menjamin bahwa dunia akan terbebas dari eksploitasi dan korupsi hukum buatan manusia dan juga tindak kriminal yang menyertainya.
3. Hukum Islam Pada Masa Kerajaan/kesultanan Islam di Nusantara
Pada masa ini hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna (syumul), mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah.

Hukum Islam juga menjadi sistem hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam nusantar. Tidaklah berlebihan jika dikatakan pada masa jauh sebelum penjajahan belanda, hukum islam menjadi hukum yang positif di nusantara.[4]


4. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda
Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat diklasifikasi kedalam dua bentuk, Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC yang memberikan ruang agak luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkan pada hukum adat.

Pada fase kedua ini Belanda ingin menerapkan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia, yaitu Belanda ingin menata kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda, dengan tahap-tahap kebijakkan strategiknya yaitu:

-          Receptie in Complexu (Salomon Keyzer & Christian Van Den Berg [1845-1927]), teori ini menyatakan hukum menyangkut agama seseorang. Jika orang itu memeluk Islam maka hukum Islamlah yang berlaku baginya, namum hukum Islam yang berlaku tetaplah hanya dalam masalah hukum keluarga, perkawinan dan warisan.

Teori Receptie ( Snouck Hurgronje [1857-1936] disistemisasi oleh C. Van Vollenhoven dan Ter Harr Bzn), teori ini menyatakan bahwa hukum Islam baru diterima memiliki kekuatan hukum jika benar-benar diterima oleh hukum adat, implikasi dari teori ini mengakibatkan perkembangan dan pertumbuhan hukum Islam menjadi lambat dibandingkan institusi lainnya. di nusantara.[5]

5. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Jepang

Menurut Daniel S. Lev Jepang memilih untuk tidak mengubah atau mempertahankan beberapa peraturan yang ada. Adat istiadat lokal dan praktik keagamaan tidak dicampuri oleh Jepang untuk mencegah resistensi, perlawanan dan oposisi yang tidak diinginkan.

Jepang hanya berusaha menghapus simbol-simbol pemerintahan Belanda di Indonesia, dan pengaruh kebijakan pemerintahan Jepang terhadap perkembangan hukum di indonesia tidak begiti signifikan.
1)      Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan

Salah satu makna terbesar kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebas dari pengaruh hukum Belanda, menurut Prof. Hazairin, setelah kemerdekaan, walaupun aturan peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasar teori receptie (Hazairin menyebutnya sebagai teori iblis) tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945.

Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah Rosul. Disamping Hazairin, Sayuti Thalib juga mencetuskan teori Receptie a Contrario, yang menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
2)      Hukum Islam Pada Masa Pemerintahan Orde Baru

Pada awal orde baru berkuasa ada harapan baru bagi dinamika perkembangan hukum Islam, harapan ini timbul setidaknya karena kontribusi yang cukup besar yang diberikan umat Islam dalam menumbangkan rezim orde lama. Namun pada realitasnya keinginan ini menurut DR. Amiiur Nurudin bertubrukan denagn strategi pembangunan orde baru, yaitu menabukan pembicaraan masalah-masalah ideologis selain Pancasila terutama yang bersifat keagamaan.

Namun dalam era orde baru ini banyak produk hukum Islam (tepatnya Hukum Perdata Islam) yang menjadi hukum positif yang berlaku secara yuridis formal, walaupun didapat dengan perjuangan keras umat Islam. Diantaranya oleh Ismail Sunny coba diskrisipsikan secara kronologis berikut ini :

a. Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Politik hukum memberlakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh pemerintah orde baru, dibuktikan oleh UU ini, pada pasal 2 diundangkan ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu” dan pada pasal 63 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam UU ini adalah Pengadilan Agama (PA) bagi agama Islam dan Pengadilan Negeri (PN) bagi pemeluk agama lainnya.
Dengan UU No. 1 tahun 1974 Pemerintah dan DPR memberlakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluk Islam dan menegaskan bahwa Pengadilan Agama berlaku bagi mereka yang beragama Islam.

b. Undang- undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Dengan disahkanya UU PA tersebut, maka terjadi perubahan penting dan mendasar dalam lingkungan PA. Diantaranya:

-          PA telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya benar-benar telah sejajar dan sederajat dengan peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

-          Nama, susunan, wewenang, kekuasaan dan hukum acaranya telah sama dan seragam diseluruh Indonesia. Dengan univikasi hukum acara PA ini maka memudahkan terjadinya ketertiban dan kepastian hukum dalam lingkungan PA.

-          Terlaksananya ketentuan-ketentuan dam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman 1970.

-          Terlaksanya pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara dan berwawasab Bhineka Tunggal ika dalam UU PA.

c. Kompilasi Hukum Islam Inpres no. 1 tahun 1991 (KHI)
Seperti diuraikan diawal makalah ini bahwa sejak masa kerajaan-kerajan Islam di nusantara, hukum Islam dan peradilan agama telah eksis. Tetapi hakim-hakim agama diperadilan tersebut sampai adanya KHI tidak mempunyai kitab hokum khusus sebagai pegangan dalam memecahkan kasus-kasus yang mereka hadapi.

Dalam menghadapi kasus-kasus itu hakim-hakim tersebut merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang puluhan banyaknya. Oleh karena itu sering terjadi dua kasus serupa apabila ditangani oleh dua orang hakim yang berbeda referensi kitabnya, keputusannya dapat berbeda pula, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Guna mengatasi ketidakpastian hukum tersebut pada Maret 1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehigga terbitlah Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Makamah Agung dan Departemen Agama.SKB itu membentuk proyek kompilasi hukum islam dengan tujuan merancang tiga buku hukum, masing-masing tentang Hukum perkawinan (Buku I), tentang Hukum Kewarisan (Buku II), dan tentang Hukum Perwakafan (BUKU III)

Bulan Februari 1988 ketiga buku itu dilokakaryakan dan mendapat dukungan luas sebagai inovasi dari para ulama di seluruh Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1991 Suharto menandatangani Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 sebagai dasar hukum berlakunya KHI tersebut.

Oleh karena itu sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah ditetapkan oleh undang-undang yang berlaku adalah hukum Islam.

3)      Hukum Islam Pada Masa Reformasi

Era reformasi dimana iklim demokrasi di Indonesia membaik dimana tidak ada lagi kekuasaan repsesif seperti era orde baru, dan bertambah luasnya keran-keran aspirasi politik umat Islam pada pemilu 1999, dengan bermunculannya partai-partai Islam dan munculnya tokoh-tokoh politik Islam dalam kancah politik nasional sehingga keterwakilan suara umat Islam bertambah di lembaga legislatif maupun eksekutif.

Mereka giat memperjuangkan aspirasi umat Islam terrmasuk juga memperjuangkan bagaimana hukum Islam ikut juga mewarnai proses pembanguanan hukum nasional.

Diantara produk hukum yang positif diera reformasi sementara ini yang sangat jelas bermuatan hukum Islam (Hukum Perdata Islam) ini antara lain adalah

-          Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

-          Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf

-          RUU tentang Perbankan Syariah yang saat ini sedang dibahas di DPR.



Daftar Pustaka

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2003
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: sinar grafika, 2004
Tim Penyusun, Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia Jilid 1,
Bandung: Ulul Albab Pres, 1997
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), h 3
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,2004), h 38
Tim Penyusun, Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia Jilid 1, (Bandung: Ulul Albab Pres, 1997), h 73
Amiur Nurudin dan Azhari A Tarigan, Hukum Islam diIndonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), h 8



[1] Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2003
[2] Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: sinar grafika, 2004
[3] Tim Penyusun, Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia Jilid 1,
Bandung: Ulul Albab Pres, 1997
[4] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), h 3

[5] Tim Penyusun, Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia Jilid 1, (Bandung: Ulul Albab Pres, 1997), h 73

1 komentar: